Friday 24 April 2015

Melawan Pahitnya Hidup dari Manisnya Tebu

Melawan Pahitnya Hidup dari Manisnya Tebu
Ie Tubee Blang Glong Meugulong (source; seputaraceh.com)
anaufalm Blog - SINAR matahari di Lhokseumawe siang itu terasa membakar kulitnya kepala. Dari atas motor, jalanan aspal terlihat seperti hamparan permuakaan air yang mengenai di tengah jalan. Pepohonan di pinggir jalan tak mampu meredam teriknya matahari.

Tanpa mengenakan pelindung kepala, sinarnya terasa lebih menyengat. Baiknya tadi memang harus mengenakan helm. Namun, terpaksa helm ditanggalkan karena aromanya yang bisa membuat putus bulu hidung. Akhirnya, harus rela dibakar sinar matahari yang belakangan ini terasa lebih meranggas. Hujan sudah lama tidak turun.

Setibanya di kawasan Blang Panyang Kecamatan Muara Dua, pandangan mata tertumbuk pada bangunan kayu di pinggir jalan yang hampir mirip gubuk. Sepertinya bangunan baru. Atapnya dari daun rumbia masih segar dan berwarna kehijau-hijauan. Biasanya, atap yang sudah lama akan berwaran keruh setelah dibakar matahari dan disiram hujan. Tiang-tiang kayunya juga masih berwarna hijau kekuning-kuningan dan masih terlihat basahnya.
Warung kayu tersebut berdiri di bawah sebatang pohon rindang yang membuatnya terasa teduh. Di batang pohon dipasak sebuah alat menyerupai setengah sampan yang juga terbuat dari kayu. Seorang anak muda terlihat sedng asyik menginjak-injak alat tersebut. Di sampingnya tersusun rapi beberapa gelas yang sudah diisi air tebu.

Turun temurun
Anak muda itu akrab disapa Zul. Dulu ia berjualan air tebu di Lapangan Jenderal Sudirman, Lhokseumawe. Namun, karena semua penjual air tebu di sana menggunakan mesin, ia memilih pindah ke tempat barunya di pinggir jalan raya Medan – Banda Aceh. menjadi penjual air tebu adalah profesi turun temurun yang juga dilakoni ayahnya.

Seperti anak muda lain, Zul juga menyimpan keinginan untuk sekolah dan kuliah. Namun apa boleh buat, pendidikan bagi adik-adiknya yang masih SMP dan SMA lebih penting. Akhirnya, Zul terpaksa menguburkan impiannya untuk bisa kuliah dan hanya menamatan pendidikan sampai SMP. Manisnya air tebu yang ia jual tidak mampu mengatasi pahitnya kehidupan. “Melihat adik kuliah, saya sudah senang sekali,” kata Zul dalam bahasa Aceh.

Ayah Zul yang sudah meninggal karena kanker paru-paru, dulunya juga menjalani profesi sebagai penjual tebu. Pilihan menjadi penjual air tebu secara tradisional bukanlah karen kesetiaan kepada profresi, tapi karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa diperoleh Zul.

Ketika ditanya mengapa Zul tidak memakai mesin seperti penjual lain, ia menyebutkan kualitas air perahan secara tradisional lebih bagus ketimbang mesin. “Bahkan, ada yang mencampur air tebu dengan air putih. Jadi rasanya sudah tidak alami lagi,” tambah Zul yang berharap suatu saat nanti kehidupannya bersama keluarga bisa lebih baik lagi.

Siang hari ketika anak muda lain sibuk di bangku kuliah, Zul berjinjit di atas alat perahan air tebu tradisional. Berharap banyak orang singgah di warungnya. Begitulah kehidupan yang dijalani Zul untuk membantu keuangan keluarga. Rasanya tidak percaya masih ada anak muda putus sekolah di Aceh yang begitu melimpah dana pendidikannya. Dan tentunya masih banyak Zul lain yang harus putus sekolah karena tak ada biaya. Betapa tragisnya hal ini masih terjadi di Provinsi Aceh yang kaya.[]
(Editor: AyiJuf)
 (Copy from: http://anaufalm.blogspot.com/2015/04/melawan-pahitnya-hidup-dari-manisnya-tebu.html)
Artikel ini dimuat di politikita.com (22/4/2015)