Oleh: Ufaira Nur Afifa
Pada suatu hari, Rasul Allah SAW keluar dan berkata: “Siapakah di antara kalian yang ingin Allah memberi kalian ilmu tanpa belajar dan petunjuk tanpa ditunjuki? Adakah di antara kalian yang ingin Allah menghilangkan dari kalian kebutaan dan menjadikan melihat? Ketahuilah, siapa yang zuhud di dunia, Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan petunjuk tanpa ditunjuki. Ketahuilah, akan datang sesudah kalian kaum yang
tidak bisa menegakkan kekuasaan kecuali dengan membunuh dan memaksa, tidak dapat memperoleh cinta kecuali dengan melanggar agama dan mengikuti hawa nafsu. Ketahuilah, siapa yang mengalami zaman seperti itu, dan bersabar untuk fakir ketika ia sanggup kaya, bersabar dibenci padahal ia sanggup dicintai, bersabar untuk merendah padahal dia sanggup membanggakan diri, lalu semuanya itu dilakukannya karena mengharapkan ridha Allah, Allah akan memberikan kepadanya pahala empat puluh orang yang benar (shiddiq).”
Al-Suyuthi mengutip hadis ini dari Abu al-Dunya dan al-Baihaqi ketika menjelaskan QS.Al-Baqarah 159: Dan minta tolonglah kamu dengan sabar dan shalat, sesungguhnya shalat itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (Al-Durr al-Mantsur, 1:162). Dengan hadis ini, ia menjelaskan keutamaan sabar. Tapi hadis ini pun sering dikutip para ahli hadis untuk menjelaskan zuhud. Di sini diterangkan keutamaannya, yakni diberi ilmu tanpa belajar.
Keutamaan Zuhud
Ilmu tanpa belajar (ilmu laduni), menurut sebagian ulama, akan diberikan kepada siapa saja yang zuhud. Orang mendapat ilmu itu bukan tidak belajar. Ia belajar, kemudian Allah menambahkan padanya ilmu langsung dari sisi Allah SWT. Namun tambahan itu tidak didapat lewat proses belajar yang biasa. Boleh jadi tambahan itu lebih banyak dari apa yang dipelajarinya. Boleh jadi tambahan itu berupa ilmu tentang dunia gaib, disamping pengetahuan tentang dunia lahir (alam syahadah). Karena itu, orang-orang yang zuhud juga akan diberi karunia mukasyafah. Pandangannya akan melintas dunia empiris dan mengakses informasi di dunia yang non-empiris.
Diriwayatkan, para sahabat berkata kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasul Allah, kami takut jatuh kepada kemunafikan.” Rasulullah bertanya: “Mengapa kalian takut munafik?” Mereka berkata: “Ketika kami berada di dekatmu, kau berikan peringatan kepada kami. Kami bergetar, kami takut, kami lupakan dunia. Seakan-akan kami saksikan akhirat, surga dan neraka di depan mata kami. Begitulah keadaan kami di dekatmu. Ketika kami pulang ke rumah, kami bercanda dengan anak-anak. Kami lihat anak-isteri dan kekayaan. Berubahlah keadaan kami, hampir tidak sama dengan keadaan kami besertamu. Seakan-akan tidak pernah terjadi apapun di dalam diri kami. Kami takut ini semua tanda kemunafikan.” Nabi berkata kepada mereka: “Tidak sama sekali. Itu bukan kemunafikan. Inilah langkah-langkah setan mencintakan kamu pada dunia. Demi Allah, sekiranya kamu terus-menerus berada dalam keadaan seperti yang sudah kamu jelaskan, malaikat akan menyalami kamu dan kamu berjalan di atas air… (Mizan al-Hikmah, 4:261; lihat juga hadis dengan redaksi yang hampir sama pada Kanz al-Ummal, hadis no.1697).
Nabi SAW bukan saja menyebutkan “manfaat gaib” dari perilaku zuhud. Ia juga menyebutkan manfaat lahir. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya zuhud pada dunia menentramkan hati dan badan; sedangkan kecintaan kepada dunia memperpanjang penderitaan dan kesusahan.” (Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Zuhd halaman 10). Dalam terminologi orang modern, zuhud dapat menghilangkan stress, baik fisik maupun psikologis. Musibah apapun yang menimpanya, tidak mengguncangkan ketenangan batinnya. Orang-orang yang zuhud-lah yang dimaksud dalam ayat “mereka tidak takut dan tidak berduka cita” (Al-Baqarah:262, 274, 277; Ali-Imran:170).
Keutamaan zahid (orang yang zuhud) dihimpunkan dalam hadis Mi’raj yang terkenal. Setelah Tuhan menjelaskan keutamaan dan makna zuhud, Nabi SAW bersabda, “Aku menyampaikan pujian kepada Allah untuk para zahid. Kusampaikan syukur kepada-Nya. Aku berdoa khusus buat para zahid; Ya Allah, peliharalah mereka dan sayangi mereka. Peliharalah agama yang telah Engkau ridhai buat mereka. Ya Allah, karuniakan kepada mereka iman kaum mukmin, yang sesudahnya tak ada keraguan dan kebimbangan, kesalehan yang sesudahnya tak ada kerakusan, ketakutan kepada-Mu yang sesudahnya tak ada kelalaian, pengetahuan yang sesudahnya tak ada kejahilan, kecendekiaan yang sesudahnya tak ada kedunguan, kegelisahan dan kelembutan hati yang sesudahnya tak ada ketegasan. Penuhi hati mereka dengan rasa malu kepada-Mu sehingga mereka merasa malu kepada-Mu pada setiap waktu. Perlihatkan kepada mereka kejelekan dunia, kejelekan diri mereka dan tipuan setan. Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku. Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib.” (Kalimat Allah, halaman 373-374).
Makna zuhud
Hadis Al-Baihaqi yang ditulis pada awal tulisan, bukan saja menunjukkan keutamaan zuhud. Nabi SAW juga menjelaskan makna zuhud dengan menggambarkan suatu zaman ketika orang-orang berlomba mengejar kekuasaan, kekayaan dan popularitas (kecintaan manusia). Demi kekuasaan, orang tega membunuh dan merampas kebebasan manusia yang lain. Demi kekayaan, orang berlaku bakhil. Demi popularitas, orang melanggar norma-norma agama dan memperturutkan hawa nafsu. Pada zaman seperti itu, zuhud dilaksanakan dengan hidup sederhana ketika dia mampu hidup kaya, tabah menanggung kebencian dari orang-orang di sekitarnya ketika dia sanggup memperoleh popularitas, rendah hati ketika ia mempunyai hal-hal yang dapat dibanggakan.
Ali bin Abi Thalib ra. menyebutkan, zuhud disimpulkan dalam dua kalimat al-Qur’an (Al-Hadid:23): Supaya kamu tidak berduka cita karena apa yang luput darimu, dan tidak terlalu gembira karena apa yang Allah berikan kepadamu.
Jadi, zuhud bukanlah tidak memiliki kekayaan. Bila orang miskin hidup sederhana, ia tidak zuhud. Ia melakukan apa yang sendirinya harus ia lakukan. Tak ada usaha. Tak ada pilihan. Tapi kesederhaan dalam limpahan harta memerlukan kekuatan batin. Inilah gaya hidup yang harus ia pilih dengan penuh kesabaran. Ia mempunyai kekayaan,
tapi ia hanya mengambil dari kekayaan itu yang mencukupi keperluannya saja. Kelebihannya ia bagikan untuk membahagiakan manusia lain. Ketika mendefinisikan zuhud, Imam Ahmad mengutip hadis Nabi, “Khairur rizqi ma yakfi, wa khairudz dzikri al-khafi” (sebaik-baiknya rezeki yang sekedar mencukupi keperluan; sebaik-baiknya dzikir yang tersembunyi). Walhasil, orang zahid bukanlah orang yang tidak memiliki dunia, tetapi orang yang tidak dimiliki dunia. Zahid bukanlah orang yang tidak menguasai dunia, tetapi orang yang tidak dikuasai dunia.
Ali bin Abi Thalib ra. menyebutkan, zuhud disimpulkan dalam dua kalimat al-Qur’an (Al-Hadid:23): Supaya kamu tidak berduka cita karena apa yang luput darimu, dan tidak terlalu gembira karena apa yang Allah berikan kepadamu. Jadi, orang zahid ialah orang yang bekerja keras untuk mencari dunia, tetapi ia tidak menyimpan hatinya dalam dunianya. Ia tidak ingin kebahagiaan hidupnya ditentukan oleh ada atau tidaknya dunia. Terlalu rendah meletakkan tujuan hidup pada pengumpulan kekayaan, kedudukan, popularitas atau kebanggaan. Pada riwayat yang lain, Imam Ali menunjuk orang zahid dengan mengatakan, “Mereka penghuni dunia tapi tidak termasuk pada penghuni dunia.”
Ibn Qayyim mendaftar definisi zuhud dari para ulama tasawuf. Al-Junaid, mengutip ayat yang dikutip Imam Ali, mengatakan, “Orang zahid tak terlalu bergembira dengan apa yang ada (al-mawjud), dan tak berduka cita karena apa yang tidak ada (al-mafqud).” Sofyan al-Tsawri berkata, “Zuhud bukanlah memakan yang kasar dan memakai baju yang compang-camping. Zuhud ialah mengurangi keinginan.” Ibn al-Jalla berkata, “Zuhud ialah memandang dunia sebagai sesuatu yang akan hilang, sehingga dunia menjadi kecil dalam pandanganmu. Dengan begitu, mudahlah bagimu berpaling darinya.” Disebutkan bahwa para arifin sepakat, zuhud ialah membawa hati berjalan meninggalkan tanah air dunia dan menempatkannya di kampung akhirat.”
Walhasil, zuhud tidak boleh diartikan meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan waktu di sudut masjid yang gelap. Zahid bekerja keras sehingga ia memperoleh kakayaan, kemasyhuran dan kekuasaan. Kemudian, ia hidup sekedar mencukup keperluannya dan sisanya ia bagikan kepada orang lain. Ia rendah hati ketika ia telah mengukir namanya pada hati jutaan manusia. Ia tidak menuntut hak istimewa ketika kekuasaan sudah di tangannya. Zahid mempersembahkan kekayaan, kemasyhuran dan kekuasaan untuk memperoleh ridha Allah Yang Maha Kuasa. Nabi SAW bersabda, “Bukanlah zahid itu mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan kekayaan. Tetapi zuhud ialah tidak menjadikan apa yang kamu miliki lebih kamu cintai daripada apa yang ada di sisi Allah. Zuhud juga berarti, jika kamu mendapat musibah, kamu sangat mengharapkan pahala musibah hingga seakan-akan kamu ingin dikekalkan dalam musibah itu.” (Kanz al-‘Ummal, hadis 60592).
Pernah Salman al-Farisi menjadi gubernur pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra. Sa’ad, kawan seperjuangannya dari Madinah datang mengunjunginya. Ia mendapatkan Salman sedang menangis. Sa’ad bertanya: “Mengapa engkau menangis saudaraku? Bukankah engkau sudah menyertai Rasul Allah SAW? Salman berkata: “Aku tidak menangis karena dua hal. Aku tidak menangis karena cinta dunia atau karena takut akhirat. Tetapi Rasulullah sudah menetapkan perjanjian kepada kami. Aku pikir aku sudah melanggar janji itu.” Sa’ad bertanya: “Apa janjimu pada Rasulullah SAW?” Kata Salman: “Beliau meminta kami untuk berjanji agar kami mengambil dunia secukupnya seperti orang membawa bekal dalam perjalanan. Padahal kini di sekitarku ada semua kekayaan ini. Aku pikir aku sudah melanggar janji itu. Dan, hai Sa’ad, takutlah kepada Allah ketika engkau menetapkan hukum, ketika engkau membagikan kekayaan, ketika engkau menginginkan sesuatu.” (al-Targhib wa al-Tarhib, 4:168).
Salman menangis karena ia merasa tidak dapat hidup zuhud ketika menjadi gubernur. Padahal dahulu, di zaman Rasulullah, Salman hidup sederhana karena memang ia miskin. Mungkin Salman teringat pada suatu pagi di Masjid Nabi. Datang berita yang menyatakan bahwa Abu Ubaidah kembali dari Bahrain dengan membawa barang rampasan perang. Para sahabat menunggu pembagian. Tetapi karena rasa malu pada Rasulullah SAW, mereka hanya mengelilingi Nabi seusai Shalat Subuh. Tidak sepatah kata pun keluar. Nabi yang bijak tersenyum. Beliau bertanya: “Aku kira kalian sudah mendengar kedatangan Abu Ubaidah dengan membawa sesuatu dari Bahrain.” Para sahabat berkata: “Benar, ya Rasul Allah.” Beliau berkata: “Bergembiralah. Tunggulah yang akan menggemberikan kamu. Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan menimpa kamu. Aku takut dibukakan dunia kepadamu seperti dibukakan kepada orang sebelum kamu. Lalu, kami bersaing seperti bersaingnya umat sebelum kamu. Lalu persaingan itu membinasakan kamu seperti membinasakan umat sebelum kamu.” (al-Targhib wa al-Tarhib, 4:180). Apa yang dikenang Salman juga dikenang Umar bin Khattab. Ia melihat sudah banyak kaum muslimin yang hidup mewah dalam masa pemerintahannya. Ia mengeluh panjang, “Kita diuji dengan penderitaan, kita bersabar. Kita diuji dengan kesenangan, kita tidak mampu bersabar.”
0 comment
Post a Comment